Home » , » SUNAN KUDUS

SUNAN KUDUS


Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa.

1.  Asal Usul

Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan  Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.

Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.

Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.


2.  Guru-gurunya

Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.

Nama asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.

Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.

Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

3.  Cara Berdakwah yang Luwes

A.  Strategi Pendekatan kepada Massa

Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :

  1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
  2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
  3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
  4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
  5. Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.

Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.

Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.

B.  Merangkul Masyarakat Hindu

Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kudus atau  Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari kapal besar.

Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus.

Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?

Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri.

Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.

Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.

Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.

Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu.

Sunan kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.

Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat  berduyun-duyun masuk agama Islam.

Bentuk mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang  Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

C. Merangkul Masyarakat Budha

Sesudah berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.

Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :

1.  Harus memiliki pengetahuan yang benar
2.  Mengambil keputusan yang benar
3.  Berkata yang benar
4.  Hidup dengan cara yang benar
5.  Bekerja dengan benar
6.  Beribadah dengan benar
7.  Dan menghayati agama dengan benar.

Usahanya pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang  wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

D.   Selamatan Mitoni

Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.

Seperti diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.

Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam  bentuk Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.

Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.

Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.

Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.

Sebelum masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.

Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.

Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati  dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

Sunan Kudus di Negeri Mekkah

Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah.

Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.

Sudah banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.

Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.

Dengan doa jawab Ja’far Sodiq singkat.

Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.

Saya mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.

Hem, sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?

Anda sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah.

Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.

Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.

Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq.

Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci.

Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.